Jumat, 30 Januari 2009

Bos Pertamina Diganti, Tak Menjamin BBM Tidak Langka Lagi

[Tempo Interaktif] - Penggantian Direktur Utama PT Pertamina (Persero) tidak menjamin distribusi bahan bakar minyak tidak langka lagi. "Omong kosong BBM tidak langka lagi. Apalagi Indonesia masih punya 38 partai," ujar Direktur Indef M. Ikhsan Modjo, Jumat (30/1), di Jakarta.

Menurut dia, Pertamina terlalu banyak dipolitisasi. "Misalnya soal kelangkaan. Harus dilihat Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum atau pompa bensin, dan bupatinya dari partai mana karena bisa saja dia tidak mau jual, lalu dibilang langka," katanya.

Melihat keadaan tersebut ia menilai kesalahan mungkin terjadi pada regulatornya atau pemerintah. Apalagi selama satu dasawarsa terakhir, Dirut Pertamina telah diganti tujuh kali, tapi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak pernah diganti."Jangan-jangan menterinya yang harus diganti," katanya.

Kalau Direktur Utama Pertamina harus diganti, lanjutnya, pemegang saham harus memilih orang dari dalam Badan Usaha Milik Negara minyak dan gas itu yang berkinerja bagus. "Jangan orang titipan yang tidak tahu atau tidak ada hubungannya dengan Pertamina. Tradisi ini harus ditinggalkan," ucap Ikhsan.

Menanggapi hal itu, Ketua Komisi Energi dan Lingkungan dari Fraksi Golkar Ir H Airlangga Hartarto MMT MBA mengatakan kewenangan penggantian direksi ada di pemegang saham, dalam hal ini Menteri BUMN. "Menteri ESDM hanya sebagai regulator PSO (Public Service Obligation/kewajiban melayani publik)," tutur Airlangga.

Selain itu, kata Airlangga, pengelolaan perusahaan merupakan tanggung jawab bersama. "Jika terjadi penggantian sebelum masa jabatan habis, harus ada alasan yang jelas," tutur Airlangga, menambahkan.

Direktur Utama Pertamina Ari Soemarno sependapat dengan hal itu. Ia mengatakan, agar Pertamina jauh dari politisasi maka perlu menjadi perusahaan publik non-listed (tidak tercatat di lantai bursa). "Dengan demikian, masyarakat bisa melakukan audit terhadap Pertamina, lebih transparan, dan masalah-masalah politis bisa dijauhi," ujar Ari.

Karena PSO, Pertamina Hanya Local Player

[JAKARTA PRESS] -Petronas tidak ditugaskan Pemerintah Malaysia sebagai public service obligation (PSO), sedangkan Pertamina ditugaskan Pemerintah Indonesia sebagai PSO. Karena bisa mengakumulasi modal dan bebas berinvestasi maka Petronas menjadi world class company atau regional player di sektor minyak dan gas (migas). Demikian kesimpulan dialog Perspektif Indonesia bertema “Pertamina: Transformasi Kapan Usai?” di gedung DPD, Senayan, Jakarta, Jumat (30/1).

Hadir sebagai pembicara antara lain Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) Ari H Soemarno, Ketua Komisi VII DPR RI Airlangga Hartarto dan Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Mohammad Ikhsan Modjo yang juga dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga (FE Unair).

Dalam acara tersebut, masyarakat mengajukan pertanyaan mengenai kemajuan pesat Petronas dibanding Pertamina, padahal Petronas yang berdiri belakangan mempelajari seluk belum mengelola migas dari Pertamina yang berdiri duluan. Ari Soemarno mengatakan, Pertamina dan Petronas ditugaskan Pemerintah masing-masing berbeda-beda. Karena tidak sebagai PSO satu-satunya di Malaysia maka Petronas menjadi badan usaha atau institusi bisnis. “Semua kekayaan alam migas di Malaysia diserahkan kepada Petronas sebagai aset,” jelas Dirut Pertamina.

Sementara, negara menunjuk Pertamina sebagai operator sejak dulu untuk mengelola semua kekayaan alam migas di Indonesia sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang mencakup usaha eksplorasi (pencarian cadangan migas baru), eksploitasi (produksi), pemurnian (pengolahan bahan bakar minyak atau BBM), pengangkutan, dan pemasaran. Sekarang, Pertamina hanya operatorship (pengendali utama operasi) ladang-ladang migas yang terkait cost recovery yang seratus persen dibayar negara.

Dengan penyertaan modal dari Pemerintah, Pertamina diwajibkan menyetor pendapatannya kepada Pemerintah dan membayar pajak atas pendapatannya sekitar 60 persen. Semua pendapatan migas yang diterima negara digunakan untuk membiayai pembangunan. “Pertamina hanya menerima fee yang kecil.”

Sedangkan Petronas tidak diwajibkan menyetor pendapatannya kepada Pemerintah dan membayar pajak atas pendapatannya sekitar 30%. Semua pendapatan negara berupa pajak maupun nonpajak dari pengusahaan migas di Malaysia yang dikelola Petronas bisa diinvestasikan sendiri.

Karena dibebaskan mengakumulasi modal dan berinvestasi maka dua tiga tahun mendatang produksi migas Petronas di luar Malaysia diperkirakan menyamai produksi Petronas di dalam Malaysia. Mereka agresif memperluas usaha hingga Sudan, Kazakhstan, Azerbaijan, Chad dan Venezuela.

Airlangga Hartarto mengatakan, masyarakat berharap Pertamina menjadi world class company atau minimal regional player di sektor migas mengimbangi Petronas, Star-Oil, dan PetroChina. Peluangnya masih besar mengingat potensi migas seperti Lapangan Donggi serta Serono di Sulawesi Selatan dan Lapangan Natuna di Kepulauan Riau yang besar diikuti kebutuhan migas yang juga besar.

Tetapi pengembangannya selalu terbelenggu tugasnya sebagai PSO yang menyebabkan Pertamina tidak agresif memperluas usaha di luar Indonesia dan hanya sebagai local player. “Pertamina tidak sempat berpikir sebagai regional player di sektor migas yang dihitung dari produksi minyak dan gas bumi,” papar Ketua Komisi VII DPR.

Sekarang saja, misalnya, Pertamina berkutat dengan masalah kilang, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), dan konversi minyak tanah ke elpiji. Fasilitas atau infrastruktur Pertamina yang dibangun 10 tahun lalu ini harus diperbarui untuk mengurangi kenaikan biaya operasionalnya.