Kamis, 04 Desember 2008

Potensi Produksi Minyak 1,1 Juta Bph

[SUARA PEMBARUAN] - Pemerintah berpeluang meningkatkan kembali produksi minyak domestik ke level 1,1 juta barel per hari (bph), dari produksi saat ini 977.000 bph. Peluang itu menyusul meningkatnya investasi dalam lima tahun terakhir.

"Peningkatan itu akan tercapai karena produksi industri migas dalam negeri mengalami kenaikan, sebagai efek dari investasi yang meningkat sejak lima tahun lalu. Lifting (produksi) 1,1 juta bph bisa direalisasikan dari potensi tambahan produksi dari lapangan yang sedang dikembangkan saat ini, seperti Blok Migas Cepu, North Duri, Tangguh, Sisi-Nubi, Kota-Batak, Senonoro dan lain-lain," ujar pakar migas dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Rudi Rubiandini, dalam seminar SP Forum bertema "Quo Vadis Energi Nasional?" yang diselenggarakan Harian Suara Pembaruan, di Jakarta, Rabu (3/12).

Menurutnya, produksi minyak juga bisa ditingkatkan melalui peningkatan faktor pemulihan lapangan menjadi di atas 15 persen, serta investasi di bidang peralatan produksi. "Jika pemerintah berhasil meningkatkan seluruh potensi lapangan dengan teknologi dan sumber daya manusia dengan maksimal, yang bersinergi dengan pengelolaan yang baik, pemerintah bisa memperoleh tambahan minyak hingga 100.000 bph," kata Sekjen Masyarakat Migas Indonesia itu.

Dengan demikian, lanjutnya, pemerintah bisa mengubah asumsi lifting minyak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009 yang telah ditetapkan 960.000 bph menjadi 1,1 juta bph.

Namun, Dirjen Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Evita Legowo menyatakan, produksi migas sebesar 1,1 juta barel sangat kecil kemungkinannya dapat tercapai. "Kami hanya menjanjikan lifting minyak pada 2009 sebanyak 960.000 bph. Produksi minyak 1,1 juta bph masih sulit direalisasikan pada 2009, tetapi kalau 2010 mungkin bisa tercapai," ungkap Evita dalam forum yang sama.

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro mengungkapkan, hingga saat ini cadangan terbesar minyak bumi terdapat di Sumatera bagian tengah, yang wilayah produksinya dikelola Caltex. Menurut data, cadangan di wilayah itu mencapai 4.163 million metric stock tank barrel (MMSTB).

Dia menambahkan, selama ini upaya peningkatan produksi energi tak lepas dari kendala. Di antaranya tumpang tindih wilayah produksi energi dengan kehutanan dan perkebunan, persoalan lingkungan, birokrasi perizinan pengadaan dan pembebasan lahan, gangguan keamanan di wilayah produksi, serta otonomi daerah yang berlebihan.

Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR menuturkan, Ir H Airlangga Hartarto MMT MBA menuturkan saat ini pemerintah telah membentuk Dewan Energi Nasional (DEN) yang akan mengevaluasi kebijakan energi nasional. DEN bertugas membangun kebijakan strategis energi nasional dan memantau pelaksanaan energi nasional yang sifatnya lintas sektoral.

"Masih belum optimalnya alokasi pemanfaatan sumber energi, yang dapat dilihat dari beberapa indikator, antara lain, tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap BBM, volume gas bumi dan batu bara untuk ekspor masih terlalu besar yang menyebabkan terjadinya kekurangan pasokan untuk kebutuhan di dalam negeri serta rendahnya porsi energi yang berasal dari sumber energi baru dan terbarukan, yaitu di bawah 10 persen di dalam total energi (primer) bauran nasional," kata Airlangga.

Konversi Gas
Pada kesempatan itu, Purnomo juga menyinggung soal diversifikasi energi dari bahan bakar minyak (BBM) ke gas. Diungkapkan, pemerintah telah menetapkan bahwa ke depan gas yang dihasilkan lapangan besar juga harus dimanfaatkan untuk pasar domestik. "Jika saat ini gas dari lapangan besar hanya untuk ekspor dan yang lapangan kecil untuk domestik, ke depan, dua-duanya diprioritaskan untuk domestik, sisanya baru diekspor," ungkapnya.

Namun, menurut menteri, pengalihan konsumsi gas dari semula didominasi ekspor ke pasar domestik, memerlukan waktu yang tidak singkat. "Setidaknya perlu waktu tiga tahun. Sekarang ini masa transisi untuk mengalihkan konsumsi gas," ujarnya.

Untuk mengalihkan konsumsi gas ke pasar dalam negeri, ungkapnya, memerlukan infrastruktur berskala besar. "Kalau mau dialirkan langsung, perlu pipanisasi. Kalau mau dikapalkan, perlu dibangun receiving terminal (terminal penerima) di pelabuhan-pelabuhan di dalam negeri," katanya.

Dengan telah ditetapkannya prioritas konsumsi gas untuk pasar domestik, lanjut Purnomo, nantinya gas dari Kalimantan Timur akan dialirkan ke Jawa. Demikian pula gas dari Tangguh, Papua, digunakan untuk wilayah lain di Indonesia. "Kita juga akan mengembangkan gas di Maluku," katanya.